Oleh: Prof. DR. M. Abdurrahman A. Mukadimah Dari hari kehari wacana khilafah Islamiyah makin kencang dilontarkan
oleh sebagian kelompok umat Islam, lebih-lebih setelah jatuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tgl 3. Maret 1924 yang
beberapa waktu yang lalu diperingatinya pula. Khilafah Utsmaniyah barakhir sejalan dengan kencang tuntutan
kemerdekaan di berbagai negara kolonial yang berpenduduk mayoritas Muslim, seperti negara yang ada di kawasan
Asia Tenggara, Aprika utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat
bahwa kekuasan Turki Usmani yang kuat yang menguasai Timur Tengah dan negara-negara “Eropa
Timur” karena kekuatan Khalifah yang amat tinggi. Khusus, kekuatan Sekularisme didukung oleh kekuatan intern
di Turki waktu itu, mengurangi kekuasaan Khalifah dan memakzulkannya sama sekali dari ranah kekuasaan politik.
Kekuasaan Islam mulai ada ketika didirikannya negara Madinah dan diikrarkannya perjanjian Madinah menjadi bagian
penting dalam membangun mekanisme hubungan-hubungan antara penduduk Madinah yang menjujung tinggi
kedaulatan hukum (Islam) dengan berbagai macam agama dan etnis masyarakat yang ada waktu itu, seperti Yahudi dan
Nasrani. Walaupun Piagam tersebut, pada tahap selanjutnya, diingkari oleh kaum Yahudi. Selanjutnya, kekuasaan Islam
dipegang oleh para penggantinya (khalifah). Kekhalifahan ini berdiri tegak, walaupun berganti fdinasti, dari abad VII
– XX (1924). Khilafah amat berkaitan dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin
besar. Pada konteks ini, kepemimpinan sesudah Nabi saw. yang fungsinya mengemban tugas-tugas kenabian, khilafat
al-nubuwwah, yaitu, hirasat al-din dan siyasat al-dunya, menjaga agama dan mengatur urusan dunia”.
Pengemban tugas khalifah sesudah Nabi, ada yang bergelar Khulafa Rasyidun, sebagai pengemban amanah
kekuasaan yang dinilai baik oleh para sejarawan, sementara khalifah sesudahnya, walaupun dalam pelaksanaannya
banyak mendukung berkembangnya dakwah dan peradaban Islam, tetapi dalam praktek kenegaraan dan
ketatanegaraan mengandalkan keturunan, “semi kerajaan”, sebagaimana terjadi sampai kekuasaan Turki
Usmani. Sementara itu, gelar kekuasaan berbeda-beda, seperti sultan-sultan dan amir-amir di negara-negara kecil.
Masalahnya sekarang bagaimana konsep khilafah dalam Islam dan bagaimana pula keberadaan negara-negara
nasional sekarang dikaitkaan dengan konsep khilafah masa silam. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa
pendekatan yang digunakan dan menjadi problem epistemologis (metode berfikir) sepanjang masa, khususnya di
kalangan fuqaha siyasah. Pertanyaan selanjutnya apakah masalah khilafah termasuk persoalan ta’abbdudi atau
ta’qquli atau sekaligus ta’abbud dan ta’aqquli. Bila jawabannya ta’abbudi, maka negara
mesti seluruhnya disebut khilafah dan kepala negara adalah Khalifah dan bentuk negara tidak sah bila bukan khilafah.
Bila jawabannya ta’aqquli, maka bentuk negara Islam tidak mesti khilafah dan kepala negara tidak mesti bergelar
khalifah. Dengan kemungkinan melihat latar belakang sejarah khilafah yang terpecah terhadap khalifah di berbagai
tempat, sementara kekuasaan khalifah yang lain masih ada, seperti kasus Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, Umayah
di Spanyol (setelah kehancurannya di Syam-Damasqus), Fathimiyah di Mesir, dsb, maka persoalan khilafah dan bukan
khilafah adalah persoalan fikih siyasah yang akan berbeda antara fuqaha yang satu dan fuqaha lainnya, walaupun di sisi
lain menjadi hak ahli fikih siyasah juga yang menyatakan bahwa khilafah adalah ta’abbudiyah. B. Makna dan
Sejarah Dilihat dari sisi makna khilafah dari bahasa Arab yang diambil dari susunan huruf kha-la-fa yang memiliki tiga
makna. Pertama, an yaji’a syai’un ba’da syai’in yaqumu maqamahu, adanya sesuatu bada
sesuatu yang bertugas sesuai dengan yang diganti; kedua, khilafu quddam, kebalikan di depan atau terdahulu; ketiga,
taghayyur, berubah. Al-Khalafu ma ja’a ba’du. Kata khalf bila menunjukkan kepada yang baik dibaca alkhalaf
dan yang jelek al-khalf dengan lam maskunah. Kemudian, muncul isytiqaq(derivasi) khalafa-yakhlufu- khalafan,
khalfan, khilafatan, berarti dhiddu taqaddama wa salafa; khalafa kebalikan terdahulu,. Kata khalfa adalah di belakang,
seperti khalfa al-imam, di belakang imam. Makna khalifah disebut khalifah kerena pengganti yang berada di belakang
yang lain dan menunaikan tugas terdahulu. Khalifatullah, pengganti Allah di muka bumi dan khalifatu Rasulillah,
pengganti tugas-tugas kerasulan (Lihat al-Raghib: 156-158 dan Ibn Faris: 210-213). Dalam Alquran banyak terdapat
istiytiqaq khalafa, khususnya yang menyangkut kekuasaan, sebagaimana dalam hadis dan menunjukkan sesuatu yang
berada sesudahnya, seperti perkataan khalifah 2 kali (al-Baqarah: 2, Shad: 38), khulafa’ 3 kali ( al-Araf: 29 dan
74, al-Naml: 62), khala’if 4 kali (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, dan Fatir: 39), khilfah 1 (al-Furqan: 26),
khalf 20 kali, istakhlaf dengan berbagai shighah (bentuknya) 5 kali (al-Nur: 55, al-An’am: 133, 57, al-
A’raf: 129, dan al-Hadid 7). Demikian pula dalam hadis banyak istilah khalifah, seperti pada Sahih al- Bukhari
nomor-nomor berikut: 1305, 3782, 4509, 6121, 6627, 6659. Pada Muslim hadis no. 3395, 3444, pada Sunan Abu
Dawud disebut pada hadis no. 4037, Musna Ahmad no 304, 10589. Selain kata khalifah, terdapat pula gelar amir dan
umara, seperti Amirul Mukminin ketika Umar bin al-Khattab memerintah, seperti pada hadis al-Bukhari hadis nomorr
1542., bahkan Allah jiga khalifah (pengurus) manusia, seperti dalam doa, Allahumma Anta al-Shahib fi al-safari wa alkhalifatu
fi ahli…….”. (al-Tirmidzi, no: 3360) Dari pengertian khilafah yang banyak disebut dalam
Alquran ada yang berarti kekasaan secara umum yang merupakan tugas menusia untuk mengolah dunia dan ada yang
berarti kerkuasaan, seperti tampak pada Nabi Dawud yang tercantum dalam al-Shad: 26 yang berkaitan dengan
pengaturan manusia, dengan menegakkan keadilan. Kemudian, perkataan khalifah ini dijadikan sebagai gelar kepala
negara sesudah Muhammad Rasulullah saw. Substansi dari makna khilafah ialah kekuasaan yang berakaitan dengan
politik kenegaraan. Namn, Dalam Alquran juga digunakan perkataan malik (ada 14 ayat) dan jamaknya muluk (2 ayat),
ulul al-amri (pemegang urusan), bahkan muncul perkataan umara ( al-Bukhari: no. 1543), dan amir, bahkan istilah imam,
sebagaimana diterangkan dalam hadis-hadis Nabi. Perkataan wazir (mentri), wuzara, dalam arti kekuasaan temporal
muncul pula pada masa-masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bahkan istilah sultan juga digunakan sebagai gelar
PERSATUAN ISLAM
http://www.persis.or.id/site Powered by Joomla! Generated: 19 September, 2008, 09:54
kapala negara. Gelar-gelar kepala di negara-negara Islam sekarang muncul pula gelar Syeikh (Kuwait), Rais (Presiden).
Khilafah Islamiyah ialah khilafah Islam. Artinya, kekuasaan negara pemerintah yang berdasarkan Islam yang
menerapkan syariat Islam dengan segala aspeknya. Persoslannya apakah menerapkan pidana Islam atau juga
termasuk konsep khilafah yang utuh seperti zaman dahulu atau hanya berupa penerapan syariat belaka. Sekarang ini
negara sudah terpecah menjadi negara-negara kecil yang memilki kebangsaan sendiri dan dibatasi dengan teroterial
secara nasional masing-masing. Indonasia yang serumpun dengan Malaysia, sebagai bangsa melayu ternyata sudah
berada pada dua negara nasional yang berbeda-beda. Arab Saudi dengan negara-negara teluk lainnya yang mirip
dalam bahasa dan adat istadat Arab teluk lainnya memiliki kesamaan sudah terpecah-pecah. Maka kontekstualisasi
Khilafah Islamiyah menjadi keniscayaan. Dimaksud demikian ialah tetap dalam lingkup negara masing-masing, tetapi
memiliki visi dan misi yang sama dalam membela agama, menegakkan syariat, dan membangun umat. Para khalifah
pasca Khulafa Rasyidun dari tahun 661 M-1924 M sebanyak Tujuh dinasti dengan , yaitu Bani Umayah (661-750 M- 14
orang), Bani Abbas (750-1258 M-37 orang), Bani Umayah Spanyol (756-1031 M- 18 orang)), Fathimiyah Mesir (909-
1171 M-14 orang), Turki Usmani (1299 – 1924 M- 37 orang), Syafawi Iran (1501-1722 M- 9 orang), Moghul India
(1526-1858 tak jelas berapa banyaknya). (Raharjo, 1996: 362). C. Konsep Khilafah Ke-khilafah-an pada masa Khulafa
Rasyidun dan khilafah pada khulafa sesudahnya sesudahnya ada perbedaan sebagai berikut: Pertama, Khulafa
Rasyidun setelah Rasulullah, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib menerapkan syura, walaupun ada
perbedaan-perbedaan dalam implementasinya, seperti perwakilan, penunjukkan oleh khalifah sebelumnya (setelah
konsultasi dengan sahabat-sahabat lain), formatur, dan pemilihin langung. Tidak ada seorang pun dia antara yang
menjadi khalifah masa mereka itu berkaitan keturunan dengan khalifah-khalifah sebelumnya, sementrara para khulafa
sesudahnya berdasarkan keturunan, sehingga tidak diperhatikan kualitas kecuali intern keluarga khalifah. Kedua,
khalifah pada masa Khulafa Rasyidun memiliki kredibiltas keilmuan yang mumpuni, sementara khalifah sesudahnya ada
pemisahan antara ulama dan umara. Memang tugas-tugas khalifah begitu berat pada masa itu ditambah lagi dengan
tingkat kredibiltas keilmuan khalifah pasca Khulafa Rasyidun berbeda. Bila khulafa masa sebelumnya adalah para
pejuang dan memiliki bobot keilmuan yhang memadai, tetapi khalifah sesudahnya adalah anak-anak istana. Ketiga,
pergantian khalifah antara satu dinasti dengan dinasti lainnya seringkali kali dengan kekerasan berupan pemakzulan
atau inqilab (cup), bahkan perebutan kekuasaan di dalam satu dinasti pun adakalanya dengan kekerasan. Banyak
usaha untuk menegakkan kembali institusi khilafah sejak dibubarkan Mustafa Kemal Attaturk, yaitu Muktamar Khilafah di
Kairo (1926), Kongres Khilafah di Mekah (1928). Dalam Menyambut gerakan ini, di Indonesia telah dibentuk Komite
Khilafah 1926 yang berpusat di Surabaya, dengan ketuanya HOS. Tjokroaminoto (Raharjo, 1996: 362). Namun
demikian, negara-negara Muslim atau Islam di dunia sudah terpecah-pecah (disintegrasi), maka upaya-paya-upaya
selanjutnya ialah dengan munculnya ide menyatukan umat Islam dengan cara membentuk oragnisasi-organisasi, seperti
Rabithah Alam al-Islami dan OKI (Organisasi Konferensi Islam). Libia membentuk Jamiyah Dakwah Internasional yang
menghimpun oragnisasi-organisasi dakwah seluruh dunia. Jadi, problematika khiafah ini akan terus menjadi wacana,
bahkan agenda bagi yang tidak menyetujui model pemerintahan sekarang. Memang dalam khilafah Islamiyah memiliki
keunggulan tertentu, seperti Umat dipimpin oleh suatu kekuasaan (khalifah), umat bahu membahu dalam
mempertahankan dirinya tanpa melihat sisi etnis atau bahasa tertentu. Semuanya berjuang atas dasar ajaran dan iman
yang sama. Namun, apakah dengan model seperti ini akan implementatif pada masa kini dan hambatannya akan
sangat besar. Penyatuan negara-negara berpenduduk Muslim sedunia adalah suatu yang ideal, tetapi faktor
penghambat dapat terjadi yang antara lain berikut: Pertama, siapa yang berhak menjadi khalifah dengan pendudk 1.3 M
dengan berbagai etnis dan bahasa. Akankah mengambil hadis, “Al-A’immati min Quraisy, para imam itu
dari orang Quraisy”. Kedua, bagaimana cara melakukan syura atau pemilihan yang sedemikian besar. Siapasiapa
yang berhak menjadi wakilnya. Ketiga, Penyatuan umat seluruh dunia dalam arti satu negara khilafah merupakan
t’abbudi atau ta’amuli”. Untuk mengembalikan cita dan citra Daulah Islamiyah Syaikh An-
Nabhani mendirikan Harakah Islamiyah yang disebut Hizb al-Tahrir (Partai Pembebasan), malah di Indonesia ada yang
disebut HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), sehingga khilafah dan syariat Islam bisa tegak lagi. Hizb tidak mengakui sistem
negara manapun di dunia, walaupun ada dalam sistem tersebut.. Persoalan yang masih tersisa adalah sejauh mana
model khilafah ini bisa dimplementasikan pada zaman sekarang karena ketika kekhalifahan baru seratus tahun berdiri
sudah ada yang memisahkan diri dari pemerintahan pusat di Baghdad, yaitu Spanyol (Andalusia). Ketika di Spanyol
khilafah masih berdiri, maka bewrdiri pula khalifah Fatimiyah (Syi’ah Syab’yah) di Mesir. Khilafah
Fatimiyah masih berdiri di Mesir, diganti oleh dikuasai oleh Shalahuddin, dan selanjutnya masing-masing menderikan
khilafah dengan mengatasnamakan dinasti-dinasti, semenjak Bani Umayah sampai Moghul di India. Di tanah Melayu,
Indonesia dan Malaka berdiri pula kesultanan-kesultanan dari Sabang sampe Maroke yang diperkirakan sebanyak 24
kesultanan. Ketika Indonesia merdeka kesultanan dimasukkan dalam NKRI atas upaya M. Natsir (Allahu yarham), tahun
50-an. Dari telaah sejarah ini, maka ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Pertama,
menolak sama sekali Islam memiliki konsep negara dalam Islam, seperti dikemukakan oleh Thaha Husein dan Ali
Abdurraziq dalam karyanya, Al-Islam wa Ushul al-Hukmi. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang tidak
mengakui sama sekali agama berkiprah dalam politik. Mereka menyamakan Islam dengan Nasrani. Kedua, Islam
memilik nilai-nalai pemerintahan yang terkandung di dalamnya, seperti dikemukakan oleh ulama Mesir, penulis Hayatu
Muhammad, yaitu Muhammad Husein Haikal; ketiga, mengharuskan kembali ke masa Nabi para Khulafa Rasyidun,
seperti dikemukakan Hasan Albana, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Rida, dan A.A. al-Mududi, bahkan dikehendaki agar
kekhilafahan juga ditegakkan kembali, seperti dikemukakan oleh al-Nabhani di atas. Konsep khilafah sebenatnya
amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam (DI) secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di
masa silam amat berhasil dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Medirikan Daulah Islamiyah adalah
wajib syar’i dan dididukung banyak ayat Alquran dan Hadis yang membicarakannya karena daulah Islam dan
pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi (2000: 40-81) memiliki
PERSATUAN ISLAM
http://www.persis.or.id/site Powered by Joomla! Generated: 19 September, 2008, 09:54
karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam,
bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala
kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan
kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi
pemerintahan sipil. ” Selanjutnya al-Qardhawi memaksudkan bahwa Daulah Islam bersekala Internasional
adalah Khilafah Islamiyah karena meyebutkan tiga prinsip berikut, “ 1). Kesatuan wilayah Islam, Sekalipun negera
dan wilayahnya berbeda, tetapi pada prinsipnya untuk satu wilayah untuk satu umat. 2). Kesatuan rujukan syariat yang
tertinggi, yang tercermin di dalam Alquran dan Sunnah. 3). Kesatuan kepemimpinan yang tersentralisir, yang tercermin di
dalam diri kepemimpinan tertinggi atau Khalifah yang memimnpin daulah orang-orang mukmin dengan ajaran Islam.
Dengan demikian, maka Konsep Khilafah Islamiyah adalah sama dengan konsep Daulah Islamiyah. Memang amat ideal,
afdhal, pemerintahan yang dapat menyatukan umat, seperti sistem khilafah ada yang mafdhul. Dapatkah dalam situasi
dan kondisi sekarang sistem klilafah diwujudkan sebagai alternatif lain dalam rangka kontekstualisasi Daulah Islamiyah,
terutama dalam hal pembagian kewilayahan. Semua pertanyaan ini terserah kepada kaum Muslimin yang menjadi
penduduk wilayah-wilayah Islam. Di sisi lain Khilafah model mana yang akan diambil, khulafa al-Rasyidun, Bani
Umayah, Bani Abbas, Abbasiyah, Moghul atau yang lain. Khulafa Rasyidun pun masing-masing khalifah berbeda-beda.
Jadi, memang diperlukan konsep yang baru. D. Kontekstualisasi Khilafah Islamiyah Sehubungan sistem khilafah
yang mengambil model masa Silam (1400 th), maka perlu ada konseptualisasi kembali khilafah model baru dengan tidak
menolak konsp lama, tetapi sebagai alternatif dalam melihat syariah dan umatnya yang dinamis dengan mengambil
ungkapan, “al-Muhafazhah bi al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Dalam konseptualisasi
ini harus dikembalikan kepada tujuan pokok Syariah Islam, yaitu Jalb al-mashaleh wa dar’u al-mafasid. Maka di
sini mashlahah ammah, yaitu hifzh al- ummah wa hifzh Syari’ah harus dikedepankan, sekiranya konflik horizontal
dan vertikal yang mungkin akan timbul antara peduduk di wilayah-wilayah kekuasan yang sudah ada. Karena itu,
memelihara dan menegakkan Syariah di setiap negara yang ada sekarang jauh lebih penting daripada menyatukan
suara umat seluruh dunia dalam satu negara. Pembentukan model negera besar model khilafah adalah persoalan
ijtihadi yang akan berbeda antara ulama yang satu dengan ulama lain. Alquran juga memberikan kelapangan bila
sesuatu yang ideal tidak bisa dicapai, seperti al-Baqarah: 286, al-A’raf: 42, al-Hajj: 78. Dalam hadis dikatakan,
“Idza amartukum bisya’in, fa’tu minhu mastatha’tum (HR. Bukhari). Metode yang digunakan
sama seperti ijtihad yang dalam fikih lain, yaitu menggunakan sarana qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah. Metode
qiyas, maslahah musrasalh, istihsan, istishp-hab, sadd-dzari’ah, dll dan qawaid fiqhiyah yang berserakan akan
menjadi landasan konseptualisasi khilafah masa kini. Qawid fiqhiyah tersebut antara lain, “Ma la yudraku kulluhu
la yutraku kulluh, jalb al-mashalih muqaddamun ala dar’ al-mafasid, al-dharurat tubih al-mahdhurat, taghayyur alahkam
bi taghayyur al-azman wa al-amkinah, wa al-ahwal, wa al-awaid, dll. Dengan menelaah fakta sejarah seperti di
atas, maka umat Islam perlu mengkaji kembali atas berbagai pandangan khilafah dilihat dari aspek-aspek
ta’abbudi atau ta’aqquli atau secara simultan ta’abbudi dan ta’amuli. Maka tidak heran bila
gelar kepala negara berbeda-beda dan juga teritorial kekuasaan berubah-ubah pada masa silam. Memang berkumpul di
satu rumah gadang dalam beberapa hal adalah utama dalam momen-momen tertentu, tetapi tidak di lain waktu. Umat
Islam berkumpul dalam satu daerah teritori khusus dengan jumlah besar 1.3 M penduduk dengan luas jutaan km2
adalah baik, tetapi bukan perkara mudah pada saat ini yang sudah terpecah-pecah, walaupun sarana komunikasi
sekarang sudah amat canggih. Di sisi lain penduduk Muslim dengan berbagai etnis, bahasa, budaya dan juga non-
Muslim yang berada di masing masing wilayah. Saya khawatir kerajaan Saudi Arabia akan menyerahkan kekuasaannya
kepada Mesir, maroko, atau bahkan ke orang jawa karena landasan syar’i-nya masih bisa ditafsirkan lain. Malah
dalil yang mengedepankan orang Quraisy dalam untuk menjadi pemimpin akan ramai kembali, sementar Ibn Khaldun
menenmggarai yang itinya bahwa bukan orang Quraisy jinsiyan tetapi muwahhidan, aqliyan wa ilmiyan. Pada masa
Abbasiyah pun ada semacam daerah otonomi dalam bentuk kesultanan-kesultanan yang dipimpin oleh para amir dan
sultan-sultan, seperti Salahuddin al-Ayyubi di Mesir, Samaniyah di daerah Khurasan yang memiliki kesultanan sendiri,
sehingga khalifah hanya kekuasaan spiritual dan kekuasaan temporalnya ada pada para sultan di daerah. Model seperti
itu mirip federasi atau kon-federasi sekarang atau negara syerikat. Penulis berpendapat bahwa khilafah bukan
ta’abbudi mahdiyah, tetapi ta’aqqauli yang di sana ada nilai-nilai ilahiyah yang wajib dipelihara, yaitu
negara Tauhid dengan menegakkan Syariat Islam dengan memegang prinsip-prinsip berikut: “Kedudukan
manusia sebagai hamba Allah, kepemimpinan, manusia sebagai umat yang satu, menegakkan kepastian hukum dan
keadilan, musyawarah, amanah, persatuan dan persaudaraan, persamaan, hidup bertetangga baik, tolong menolong
dalam kebajikan dan taqwa, perdamaian, membangun ekonomi yang mensejahterakan, bela negara, menghormati hakasasi
manusia, toleransi dan kebebasan beragama, persamaan di depan hukum, bebasi rasa takut, amar makruf nahyil
munkar, tanggung jawab, ketaatan”. (Pulungan, 1999: 5-20) Dengan begitu, maka negara boleh menggunakan
sistem tyang disetrujui rakyatnya, seperti, Republik, Kerajaan, Kesultnan, Keamiran karena ini merupakan masalah
ijtihadiyah, selama di sana Syariat tegak dan aturan Islam berjalan. Tegaknya Peradaban Islam dan Syariat, bukan
semata-mata dibangun atas satu sistem baku, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Sebagai
ganti khilafah, maka amat baik bila menyatukan Umat Islam dibangun atas dasar visi dan misi bersama menghadapi
musuh Islam. Maka jalan tengahnya adalah dengan memilih pemimpin Islam, membangun persaudaran antara negaranegara
Islam atau negara Muslim yang ada serta memperkuat lembaga-lembaga internasional negara Islam atau Muslim
dan umat Islam, seperti OKI dan Rabithah al-Alam al-Islami, Liga Islam Dunia, Jamiyat al-Da’wah al-Dauliyah
yang ada di Libiya atau organisai baru yang menggambarkan umat bersatu. Bila di dunia sekarang ada WTO, APEC,
SEATO, ASEAN, Uni Eropa, NATO, dll, maka negara-negara Islam pun harus membuat persekutuan itu. Hal ini pun
bukan perkara yang mudah pula. Inggris sekarang memiliki apa yang disebut Persemakmuran, suatu bentuk
kesepahaman negara-negara bekas jajahan Inggris dalam bidang tertentu, terutama ekonomi, dll. E. Khatimah. Masalah
PERSATUAN ISLAM
http://www.persis.or.id/site Powered by Joomla! Generated: 19 September, 2008, 09:54
khilafah Islamiyah merupakan masalah yang terus menerus menjadi wacana sejak lama yang belum dapat
diimplemetasikan sampai sekarang setelah dibubarkanbanya khilafah Turki Usmani. Upaya penegakkan kembali khilafah
menjadi bahasan intelektual yang tidak pernah selesai, sehingga menjadi garapan para mujtahid fikih siyasah. Melihat
kenyataan historis khilafah merupakan masalah ta’aqquli-ta’amuli, maka bentuk negara dalam Islam dapat
berbeda dari satu masa ke masa lainnya, tergantung kepada kehendak bangsa atau kaum Muslimin di tempat-tempat
itu. Namun, subtsansi khilafah tidak boleh berubah, terutama dalam menegakkan amanah, keadilan, syura, dan
penegakan hukum berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasualullah saw. Persoalan khilafah dapat diganti dengan bentuk
kekuasaan lain yang sejalan dengan khilafah dan penyatuan seluruh kekuasaan negara-negara Islam sebagai persoalan
afdhal dan mafdhul, sehingga dalam situasi tertentu seperti sekarang ini dibolehkan bukan dengan sistem tersebut.
Lapangan ijtihad dalam fikih siasah amat luas, sehingga memunculkan corak-corak pemerintahan yang berbeda
daripada tidak memiliki pemerintahan sendiri. Penyatuan satu negara dengan negara lain saat ini harus lewat SK PBB
dan tanpa itu dalam pergaulan internasional tidak akan diakui sama sekali. Timor Timur yang sudah yang 27 tahun
dikuasai Indonesia lepas kembali dan mendirikan negara sendiri. Kecenderungan masyarakat dunia saat ini berpisah
secara teritorial dan dan bentuk Negara Kesatuan, seperti NKRI harus dipertahankan karena merupakan bentuk
kontekstualisasi khilafah masa kini di suatu negara. Wallu A’lam bi-al-Shawab,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar